Cupping, Seni Menilai Secangkir Kopi

Ada sekitar 800 karakter kopi di dunia. Mari kenali lewat cupping, seni menghirup aroma, menyeruput, dan meneguk kopi.

Bak minum anggur, menikmati kopi bukanlah seperti menenggak segelas besar bir. Sehitam neraka, sekuat kematian, dan semanis cinta itulah nikmatnya kopi, kata orang Turki yang mengenalkannya pada orang Barat.

“Rasanya seperti air kobokan!” komentar dosen ahli kajian film Prancis tentang sajian kopi di rehat lokakarya estetika film di IKJ pertengahan 2006 lalu. Kopi yang disajikan itu nasgitel (panas, legi, kentel—panas, manis, kental), khas Jawa. Ada pula kopi tubruk dan kopi pekat. Penggemar biasa meminumnya sambil menggigit gula merah. Sedangkan orang Aceh gemar kopi telur, kopi tarik, kopi sanger, dan kopi saring yang kadang disebut cappuccino Aceh.

Sementara, bule dan pencinta kopi sejati akan mencari single origin (kopi murni khas suatu daerah) dan blend (racikan beberapa jenis kopi) yang dinikmati pekat murni—tanpa gula atau susu. Pahit? “Kopi itu sangat berkarakter,” ujar Dewi “Dee” Lestari dalam kumpulan cerpennya, Filosofi Kopi (Truudee Books & Gagas Media, 2006). Nah!

“Ada sekitar 800 karakter kopi,” papar Agustinus Tassi, roaster (ahli penyangrai kopi) dari Caswell’s Fine Coffee and Teas. Ini bisa dikenali dan dipelajari lewat cupping, coffee tasting alias “upacara” singkat mengenali dan membandingkan sejumlah karakter beberapa kopi.

Filosofi Kopi
Mengikuti cupping bak menyiapkan diri menjalani general check up kesehatan dan menonton konser. Kita diharapkan tak menyantap apa pun 30 menit sebelumnya. Tujuannya, agar mulut dan kerongkongan kita netral. Kita juga dianjurkan tidak memakai parfum yang tajam. Yang tak kalah penting, untuk sementara waktu “bunuh” telepon genggam. Ruangan dikondisikan tanpa pewangi dan pendingin udara. Semuanya mendukung tuntutan akan suasana tenang dan konsentrasi penuh.

Cupping adalah “upacara” di specialty coffee café macam Caswell’s, Anomali, Starbucks yang rutin diadakan sampai tiga kali seminggu. Idealnya diikuti roaster, barista (peramu kopi), petani kopi, eksportir kopi, dan pencinta kopi sejati. Tujuan cupping adalah menjaga standar mutu kopi yang disajikan pada tamu dan pelanggan.

Di kedai kopi berkesan homey, itu ada meja kayu persegi empat yang telah ditata untuk “jamuan” delapan orang. Di tengah meja ada empat baki kecil yang masing-masing berisi green beans (biji kopi yang belum disangrai), dan biji kopi yang sudah disangrai berlabel A dan B yang tampak hitam dan berkilau. Ada lagi dua kantong kertas yang masing-masing berisi kopi bubuk berlabel A dan B. Kopi bubuk inilah contoh kopi yang akan dinilai.

Di hadapan peserta “upacara” telah ditata selembar cupping form di atas lembar coffee Taster’s Flavor Wheel. Di sisinya ada tissue mengalasi sendok kopi ukuran 8 g. Di sebelah depan ada dua gelas kaca ukuran 240 ml berisi kopi seduh berlabel A dan B, gelas kaca tinggi berisi air bening, dan gelas kaca kosong untuk ampas kopi.

“Upacara” dimulai usai Agustinus Tassi membuka resmi dengan pengantar singkat. Peserta mulai beraksi dengan mendekatkan kantong bubuk kopi A ke bawah hidung, menyendok bubuknya mendekat ke hidung dan menghirup fragrance, wangi kopi yang menguar dari kopi bubuk sebelum diseduh. Lalu, peserta memberi penilaian dengan kisaran angka 1 —10, dari yang paling payah sampai terhebat.

“Tak ada ‘salah benar’ dalam menilai kopi dan menikmati kopi dalam beragam cara. Semuanya terpulang pada selera kita sendiri,” tutur Henry Caswell Harmon, si pendiri Caswell’s menenangkan

Fragrance, aroma, acidity, dan body adalah karakter utama kopi.
Kopi yang baik, karakternya tetap kuat meski dicampur apa saja.

Dalam cupping, yang pertama kita kenali adalah menghirup wangi kopi yang menguar dari dari kopi bubuk yang belum diseduh. Langkah kedua, kita mengambil gelas A berisi 7 g bubuk kopi yang dua menit sebelumnya diseduh air 150 ml dan mendekatkannya ke hidung. Dengan sendok, ampasnya disibak ke pinggir dan dihirup aromanya.

“Sensasi seperti apakah yang terasa dari uapnya?” kata Agus sambil menunjuk ke bagian aroma kopi di bagan lingkaran karakteristik kopi. Apakah enzymatic (seperti bunga, buah, rempah), sugar browning/gula panggang (seperti kacang, karamel, cokelat), atau dry distillation/bakaran (karbon, bumbu, obat-obatan).

“Upacara” ketiga, acidity, keasaman kopi. Pada tahapan ini peserta mengangkat gelas, menyingkirkan ampas ke gelas kosong, menyendok kopi, dan menyeruput sampai bunyi. Saat kopi menyentuh langit-langit mulut dan tepian bawah lidah peserta akan merasakan keasaman seperti ketika menyantap buah atau menyesap anggur, dengan selintas rasa “manis”. Skala penilaiannya 1 (very flat), 3 (very soft), 5 (slightly sharp), 7 (very sharp), dan 10 (very bright).

Keempat, sampailah pada point terpenting : flavor (cita rasa). Peserta merasakan apakah ada paduan aroma dan rasa ketika kopi menguapi langit-langit mulut saat diseruput. Skala penilaian untuk aspek cita rasa ini antara 1 (terpayah) dan 10 (terhebat).

Langkah kelima, body, kekentalan dari lemak, minyak, dan endapan yang terasa ketika kopi diseruput. “Bayangkan seperti ketika menyeruput susu,” kata Agus. Skala nilainya 1 (very thin), 4 (light), 6 (full), 9 (heavy) dan 10 (very heavy).

Langkah ketiga sampai kelima di atas, kopi cukup diseruput, tak sampai diteguk. Begitu kita cukup merasa-rasa, kopi dimuntahkan lagi ke gelas ampas. Bila belum yakin, bisa diulang lagi. Kopi baru diteguk pada tahap keenam, aftertaste untuk merasakan cita rasa yang melekat di kerongkongan saat kopi diteguk. Skala untuk tahap keenam ini antara 1 (terpayah) dan 10 (terhebat).

Di antara langkah ketiga sempai keenam, kita bisa meneguk air bening untuk menetralkan mulut. Terakhir, kita memberikan cupper’s point/balance atau nilai keseluruhan pada semua kategori tadi dengan skala -5 (terpayah) dan +5 (terhebat).

Selesai dengan kopi A, peserta mengulangi semua langkah tadi pada kopi B. Nilai keseluruhan A dan B menjadi patokan hasil cupping. Sekali lagi, “Tak ada salah atau benar di sini,” ujar Agus serius yang kemudian membuka “rahasia” contoh kopi A dan B. Ternyata kopi A adalah jenis arabika Bali Kintamani dan kopi B adalah jenis Guatemala Huehuetenango. Kalau ada peserta yang menunjukkan “ketakpercayaan”, itu bukan hal luar biasa. Inilah gunanya cupping, mengevaluasi mutu kopi.

Menurut Agus, “semestinya” hasil cupping stabil dari waktu ke waktu, sesuai agtron number (tingkat warna sangrai kopi dari yang terterang sampai tergelap) kopi A dan B. Kalau terjadi kesenjangan nilai 10, itu dianggap terlalu jauh, “‘Tertuduh’-nya bisa saya sebagai penyangrai. Saya mesti mengevaluasi, apakah penyebab ‘turunnya mutu’ ini, dimulai dari mutu biji kopinya dari tingkat petani, atau tak pas saat menyangrai dan menyeduh.”

Bali Kintamani, misalnya, “semestinya” memberi sensasi rasa full body, rich aroma, dan nuansa lemon karena tanaman selanya di dataran tinggi Bali adalah jeruk. Di tangan seorang roaster, dari cupping bisa dihasilkan campuran minuman kopi. Misalnya, Rhino Blend dari campuran arabika dan robusta, serta Caswell’s Espresso dari arabika Indonesia dan Amerika Selatan yang dijagokan – jenis bijinya rahasia perusahaan.

Penyebaran ke seluruh penjuru dunia menghasilkan budaya minum kopi yang khas. Membubuhi kopi dengan susu, gula, dan sebagainya juga tak salah. Yang harus dipegang, kopi yang baik, dicampur apapun tetap terasa dan kuat rasa kopinya.

Biarpun berkutat dengan mengolah kopi ala selera dunia, Agustinus tak menampik gaya minum kopi khas Indonesia. “Saya malah ingin ke Yogyakarta untuk menikmati kopi jos. Belum pernah dengar? Konon, sepotong arang membara dicelupkan ke kopi seduh,” kata Agus. Oh, tak terbayang, hitam bertemu hitam ….

Langkah Panjang Menuju Secangkir Saji
Ada sekitar 10 tahap dilalui biji kopi dari benih sampai ke cangkir saji. Panen dari pohon yang siap berbuah mulai usia tiga tahun saat cherry kopi merah matang di bulan ke-8 lalu diolah dengan cara kering (empat minggu dijemur).

Yang lebih baik, cara basah: cherry kopi direndam, yang mengambang disingkirkan karena bermutu jelek, sisanya dibiarkan 36 jam sambil terus disemprot. Selanjutnya dikeringkan dengan sinar Matahari atau mesin dan dikupas memunculkan biji kopi mentah.

Penyimpanan dengan karung goni di suhu kamar 20 – 25 oC untuk mencegah kandungan aroma menghilang di suhu terlalu panas. Karung goni dipilih karena bahan itu masih memungkinkan aliran udara yang disangga agar tak menyentuh langsung tanah atau lantai. Dengan begini, mutu biji kopi bisa tahan lama.

Penyangraian kopi adalah tahap penting yang melahirkan karakteristiknya. Specialty coffeecafé biasa menyangrai sedikit sesuai kebutuhan. Dengan mesin penyangrai menggunakan LPG, 12 kg biji kopi disangrai 18 menit. Aromanya mulai menguar pada menit ke-10. Kopi hasil sangrai diangin-anginkan selama 1 – 24 jam agar tak lembab, lalu simpan dalam kaleng atau plastik kedap udara dengan katup udara yang memungkinkan kita menghirup aromanya dari luar. Biji kopi sangrai bisa bertahan aroma dan rasanya selama 4 – 5 bulan. Biji kopi digiling begitu akan diseduh, sebab kopi bubuk hanya bertahan mutunya selama dua minggu.

(Christantiowati, INTISARI Maret 2007) via nationalgeographic.co.id

Metode pengupasan biji kopi

Berikut adalah 3 cara umum pengupasan biji:

Metode Kering (Dry / Natural Process)

Metode kering adalah metode pengupasan kopi yang paling tua, paling sederhana, dan paling mudah untuk dijelaskan

Buah kopi matang yang telah dipanen langsung dijemur selama 3-4 minggu untuk mengurangi kadar air hingga 10-12%. Selama penjemuran, kopi dibalik secara rutin agar tingkat kekeringan sama. Metode kering biasa digunakan oleh para petani di Ethiopia dan Brazil karena iklim keringnya .

Setelah kering, kopi masuk ke dalam mesin depulping (pengupas kulit buah) untuk menghilangkan pulp dan parchment. Kelemahan dari metode kering adalah bila kopi terlalu kering, biji kopi akan mudah pecah saat proses depulping.

Cara ini dianggap paling ramah lingkungan karena tidak menyisakan air limbah pengolahan. Walaupun saat ini lebih banyak diterapkan pada biji kopi robusta namun kesadaran lingkungan mulai membuat petani menggunakan metode ini pada biji kopi arabika.

Metode kering akan menghasilkan kopi dengan rasa buah yang lebih kuat, halus, body yang pekat, dan acidity rendah.

Metode Basah (Wet Process)

Metode basah tergolong baru dalam pengupasan biji kopi. Dinamakan ‘basah’ karena biji kopi selalu bersentuhan dengan air selama proses pengupasan. Karena membutuhkan hingga 6 liter air per 1 kilogram kopi, metode ini lebih banyak diterapkan untuk kopi arabika karena harga jualnya yang lebih tinggi daripada robusta.

Pembeda utama antara metode basah dengan kering adalah urutan depulping. Buah kopi yang baru dipanen dimasukkan ke saluran air yang mengarah ke mesin depulping sehingga pulp akan terpisah dari biji. Pulp sisa pengupasan tersebut biasa digunakan sebagai pakan ternak atau bahan kompos.

Biji kopi selanjutnya direndam air selama 12-36 jam. Tujuan dari perendaman ini adalah untuk memfermetasi biji kopi dan untuk menghilangkan lendir (mucilage). Bak rendam sesekali diaduk dan airnya diganti sesuai tingkat fermentasi yang diinginkan. Fermentasi yang terlalu lama akan menghasilkan kopi yang masam dan tidak enak. Tahap fermentasi selesai ketika lendir hilang dan biji kopi terasa kesat.

Limbah air yang digunakan untuk mencuci lendir kopi adalah salah satu efek buruk pengolahan kopi dengan metode basah. Untungnya, saat ini telah dikembangkan teknologi yang dapat menghemat air dengan cara mengurangi, mendaur ulang, dan menyaring air limbah.

Setelah fermentasi selesai, biji kopi dijemur untuk mengurangi kadar air hingga 10-12% yang dilanjutkan dengan proses milling untuk menghilangkan kulit tanduk yang masih tersisa.

Fermentasi terkontrol pada metode basah akan menghasilkan kopi dengan body yang ringan, dan acidity yang lebih menonjol.

Metode Setengah Basah (Semi Washed)

Metode setengah basah menggabungkan keunggulan metode basah-kering. Selain Brazil yang terkenal karena metode ‘pulped natural’-nya, Indonesia boleh bangga karena metode ‘Giling Basah’, yang biasa dipakai oleh petani di Sumatera dan Sulawesi, adalah salah satu metode setengah basah terbaik di dunia.

Diawali seperti metode basah, buah kopi hasil panen dimasukkan ke mesin depulping. Bedanya adalah selesai dikupas, biji kopi tidak didiamkan untuk difermentasi melainkan langsung dijemur untuk dikeringkan hingga kadar airnya 30-35%. Pada tahap ini, fermentasi tetap terjadi karena lendir yang mengandung gula masih menempel di biji kopi. Namun kadarnya tidak sebanyak pada tahap basah.

Selanjutnya biji kopi masuk ke mesin milling untuk menghilangkan kulit tanduk yang tersisa. Setelah bersih dari kulit tanduk, dilakukan pengeringan tahap kedua hingga kadar air mencapai 10-12%.

Pulped natural, honey process, dan giling basah adalah tiga dari banyaknya variasi semi washed process. Perbedaan ketiganya adalah pada banyaknya lendir / mucilage yang tersisa pada penjemuran tahap pertama.

Karena fermentasi terjadi lebih sebentar daripada metode basah, karakteristik metode ini adalah acidity dan body yang lebih seimbang.

Setelah mengetahui tahapan pengupasan kopi, kita tentunya dapat lebih leluasa memilih saat ketika berbelanja biji.

Dari : kopidewa.com

Panduan Seduh Hario V60

Hario V60 yang dilahirkan tahun 2005 telah menjadi ikon third wave coffee. Banyak café yang memajangnya di etalase entah hanya sebagai hiasan atau memang menyajikan menu manual brew ala V60.

Kali ini, mari kita coba menyeduh kopi dengan alat buatan Raja Gelas dari Jepang.

Alat dan Bahan

Hario V60 ukuran 1-2 cup
Filter kertas Hario
Penggiling kopi
Timbangan
Termometer
Teko leher angsa
Stopwatch
25 gram kopi
350 ml air panas
Langkah 1

Lipat filter mengikuti garis sambungan lalu taruh di dalam corong penyeduh. Letakkan corong penyeduh di atas teko saji.

Langkah 2

Timbang kopi sebanyak 25-27 gram. Disarankan untuk menimbang kopi lebih banyak 1-2 gram dari yang akan digunakan, karena seringkali berat kopi berkurang setelah digiling.

Penyeduh pour over apa pun bekerja di titik optimal saat volume kopi mencapai setengah sampai duapertiga kapasitas maksimalnya. Jika kopi terlalu sedikit penyeduhan akan cenderung under-extracted karena kurangnya tekanan. Jika kopi terlalu banyak, air akan mudah meluap saat proses seduh.

Langkah 3

Giling kopi. KopiDewa menggunakan Porlex dengan setelan 5-6 klik dari titik 0 untuk mendapatkan tingkat kehalusan pasir halus. Sambil menggiling mulailah memanaskan air.

Ukuran lubang bawah Hario V60 cukup besar sehingga proses seduh berlangsung cukup cepat. Hal ini dapat diimbangi dengan tingkat gilingan kopi yang agak halus agar hasil akhir tidak under-extracted.

Langkah 4

Bilas filter dengan air panas untuk menghilangkan bau dan aroma kertas. Jika corong Hario Anda berbahan gelas, keramik, atau logam, pembilasan juga membantu menghangatkan corong sehingga proses seduh lebih maksimal.

Masukkan kopi yang sudah digiling sebanyak 25 gram ke dalam filter dan corong yang sudah dibilas. Timbang ulang untuk memastikan beratnya sudah tepat. Ratakan gundukan kopi dengan menepuk-nepuk corong.

Langkah 5

Nyalakan stopwatch dan kucurkan air bersuhu 85°C sebanyak 50 ml secara perlahan dan merata ke gundukan kopi lalu tunggu 45 detik agar proses blooming terjadi. Usahakan agar tetesan air tidak langsung terkena dinding filter.

Langkah 6

Setelah blooming 45 detik, kucurkan air secara perlahan dengan dengan gerakan melingkar dari dalam ke luar seperti obat nyamuk. Kucurkan air sebanyak 30 ml dan tunggu sampai permukaan air di corong telah turun sebelum mengucurkan 30 ml berikutnya.

Putaran searah jarum jam akan menonjolkan acidity sedangkan berlawanan jarum jam akan meningkatkan body.

Langkah 7

Tuang air hingga mencapai 250ml.

Usahakan untuk menyelesaikan penyeduhan dalam 3-4 menit. Jika terlalu lama kopi cenderung menjadi lebih pahit. Jika terlalu sebentar kopi akan terasa hambar dan asam.

Langkah 8

Kopi Anda telah selesai diseduh. Jika V60 Anda berbahan plastik, segera singkirkan filter dan ampas kopi dari corong penyeduh lalu bilas corong dengan air bersih. Hal ini bertujuan agar corong tidak cepat getas dan warnanya tetap cerah. Anda boleh menunda tahapan ini jika V60 Anda berbahan gelas, keramik, atau logam.

Langkah 9

Sajikan dengan gelas kecil agar aroma dan rasa lebih terjaga.

Dari : http://kopidewa.com

Blooming

Sering kali kita mendengar istilah asing dalam proses pembuatan kopi. Namun karena kurang referensi (atau takut disebut newbie), kita tidak mencari tahu lebih lanjut arti dari kata asing tersebut.

Blooming adalah salah satu istilah yang kerap muncul. Tapi banyak yang belum memahami apa yang sebenarnya terjadi ketika bubuk kopi sedang “mekar” terkena air. Padahal blooming adalah salah satu penanda awal dari kesegaran kopi yang kita pakai.

Saat kopi disangrai, gas karbon dioksida (CO2) masuk dan terperangkap dalam lubang-lubang kecil di dalam biji kopi. Teorinya, semakin gelap tingkat sangrai, semakin banyak juga CO2 yang terkandung. Karbon yang memang berwarna hitam ikut mempengaruhi warna kopi. Makin hitam biji kopi, makin banyak karbon dioksidanya.

Faktor-faktor yang menentukan kandungan gas CO2 adalah sebagai berikut:

Tingkat Sangrai
CO2 pada light roast tidak sebanyak pada dark roast. Namun biji kopi dark roast pun telah menjadi lebih lunak sehingga gas lebih mudah keluar.
Suhu dan Kelembaban
Tempat penyimpanan yang panas dan lembab akan membuat gas lebih mudah keluar. Selalu gunakan wadah yang rapat untuk menjaga kesegaran biji kopi.
Lama Penyimpanan
Walaupun disimpan di tempat rapat, gas dalam kopi tetap akan keluar. 2-15 hari setelah tanggal roasting adalah waktu optimal kesegaran kopi.
Varietas Kopi
Beberapa varietas kopi mempunyai kepadatan biji yang tinggi. Hal ini membuat gas sulit masuk dan blooming tidak nampak walaupun menggunakan kopi segar.

Saat kita mempertemukan kopi dengan air panas, karbon dioksida yang terperangkap terdorong keluar. Itulah yang dinamakan tahap blooming. Gas yang keluar dari biji kopi menimbulkan buih dan partikel air mulai mengisi lubang kosong membuat kopi mengembang (bloom).

Untuk mencapai blooming maksimal kita cukup menambahkan air sebanyak 2 kali berat kopi yang kita gunakan, misalnya 30 ml air untuk 15 gram kopi. Blooming akan terjadi sekitar 15-45 detik, tergantung banyaknya gas yang terkandung.

Pada tahap ini sebaiknya kita menunggu agar sebanyak mungkin gas bisa keluar, sebelum akhirnya menambah volume air. Kenapa? Karena aliran gas yang keluar mencegah air untuk masuk dan melarutkan kopi. Terlalu banyak air di saat awal penyeduhan malah membuat hasil akhir menjadi hambar.

Dari : http://kopidewa.com/