Habibie: Hadiah Terbesar Bangsa Cina ke Indonesia adalah Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Presiden ketiga RI BJ Habibie menjelaskan mengenai awal kehadiran Islam di Nusantara. Menurut dia, Islam datang ke Indonesia dan diperkenalkan pertama kali lewaat bangsa Cina, melalui Laksamana Cheng Ho.

“Hadiah terbesar bangsa Cina ke Indonesia adalah agama Islam,” kata Habibie ketika memberikan ceramahnya di Masjid Lautze, Pasar Baru, Jakarta, Jumat (29/8). 
Habibie menjelaskan, Islam lahir di Abad 14 silam. Saat itu, Islam memang belum sampai ke jazirah Tiongkok. Baru ketika jalur perdagangan dibuka 700 tahun kemudian Islam sampai di Cina. Kemudian, Laksamana Cheng Ho datang ke Nusantara membawa misi Damai dan Islam pun dikenal masyarakat Indonesia ketika itu. 
“Ini yang sering Saya katakan ketika Saya bertemu siapa pun, termasuk Tokoh2 Dunia. Ketika Saya ke Cina, Saya diberitahu, umat Islam yang Saya temui ini lah orang-orang yang memperkenalkan Islam ke negara Anda,” kata Dia.
“Saya bilang ke Pimpinan Beijing, Saya bilang ke pimpinan Jerman, agama Islam datang ke Indonesia Damai bukan pePerangan,” kata Dia. 

 Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari Jasa Walisongo (Wali Sembilan). Banyak Versi mengenai Kisah para Wali ini, salah satunya versi yang menyatakan mereka berAsal dari Cina. Tahun 1968, Profesor Slamet Mulyana menulis Versi yang tidak populer itu dalam bukunya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara2 Islam di Nusantara”, namun dilarang beredar karena dinilai dapat memicu perdebatan SARA (Suku, Agama, Ras dan AntarAgama).
WalisongoMenurut Mulyana, orang yang mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, yakni Chen Jinwen atau yang lebih dikenal dengan Raden Patah alias Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu). Ia adalah pendiri kerajaan Demak di Jawa Tengah.
WaliSongo dibentuk oleh Sunan Ampel pada tahun 1474. Mereka terdiri dari Sembilan orang Wali; Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat alias Bong Tak Keng, Sunan Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati alias Du Anbo-Toh A Bo, Sunan Kudus alias Zha Dexu-Ja Tik Su, Sunan Muria Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/ Tan Eng Hoat, dan Sunan Giri yang merupakan Cucu dari Bong Swie Ho.
Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias Raden Rahmat lahir pada tahun 1401 di Champa (Kamboja). Saat itu, banyak sekali orang Tionghoa pengAnut Agama Muslim bermukim di sana. Ia tiba di Jawa pada 1443. Tiga puluh enam tahun kemudian, yakni pada 1479, ia mendirikan Mesjid Demak.
Belanda, yang sempat ‘berPerang’ dengan para Wali itu sempat tidak mempercayai bahwa Sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa. Untuk memastikannya, pada 1928, Residen Poortman ditugaskan oleh Pemerintah Belanda untuk menyelidikinya. Poortman lalu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berBahasa Tionghoa. Ia menemukan Naskah kuno berUsia ratusan tahun sebanyak tiga Pedati.
Arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan yang menulis buku yang juga Kontroversial, Tuanku Rao. Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari buku ini. Pernyataan Raden Patah adalah seorang Tionghoa ini terCantum dalam Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun, yang dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai Senapati Jimbun. Kata Jin Bun (Jinwen) dalam dialek Hokkian berArti ‘Orang Kuat’. Cucu Raden Patah, Sunan Prawata atau Chen Muming/ Tan Muk Ming adalah Sultan terakhir dari Kerajaan Demak. Ia berAmbisi meng-Islamkan seluruh Jawa, sehingga apabila Ia berhasil maka ia bisa menjadi “Segundo Turco” (seorang Sultan Turki ke II), sebanding Sultan Turki Suleiman I dengan keMegahannya.
Kata Walisongo yang selama ini diArtikan Sembilan (Sanga/Songo) Wali, ternyata masih memberikan Celah untuk versi penafsiran lain. Ada yang berPendapat bahwa kata ’Sanga’ (dilafalkan sebagai ‘Songo’ dalam Bahasa Jawa) berAsal dari kata ‘Tsana’ dari bahasa Arab, yang berArti Mulia. Pendapat lainnya menyatakan kata ’Sanga’ berasal dari kata ’Sana’ dalam bahasa Jawa yang berarti Tempat.
Kata Sunan yang menjadi Panggilan para anggota WaliSongo, diPercaya berAsal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’. ‘Su’ merupakan kePendekan dari kata ‘Suhu atau Saihu’ yang berarti Guru. Disebut Guru, karena para Wali itu adalah Guru2 Pesantren Hanafiyah, dari Mazhab Hanafi. Sementara ‘Nan’ berArti Selatan, sebab para pengAnut Aliran Hanafiah ini berAsal dari Tiongkok Selatan.
Perlu diKetahui juga bahwa sebutan ‘Kyai’ yang Kita kenal sekarang sebagai Sebutan untuk Guru Agama Islam, dulu diGunakan untuk memanggil seorang lelaki Tionghoa Totok, seperti pangggilan ‘Encek’. Dan, Sadar atau tidak, baju Muslim yang kerap diGunakan oleh Laki2 Muslim Indonesia sangat mirip dengan pakaian ala China. Baju Koko dan penutup kepala putih diAnggap berAsal dari China, karena di Negeri asal Islam, Timur Tengah, Pakaian ini tidak diKenal.
Sangat diMungkinkan bahwa Cerita2 ini mengandung keBenaran ( walaupun mungkin tidak Semua Walisongo dari Cina ), karena saat itu penduduk lokal Jawa adalah masih Hindu-Buddha dan tentunya apabila ada suatu keBudayaan Baru yang masuk maka pastilah dibawa oleh pendatang dari luar. Mengingat bahwa saat itu Cina sudah menjelajah ke berbagai belahan Dunia termasuk di tanah Jawa maka diMungkinkan salah satu dari mereka adalah pembawa Syiar Agama Islam tersebut. 

Sumber:

* D. A. Rinkes “De heiligen van Java”

* Jan Edel “Hikajat Hasanoeddin”

* B. J. O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang

* Utrecht: Den Boer – G.W.J. Drewes, 1969 The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff

* De Graaf and Pigeaud “De eerste Moslimse Vorstendommen op Java”

* “Islamic states in Java 1500 -1700?.

* Amen Budiman “Mas[truncated by WhatsApp]

Leave a comment